-->
Marcadores De Postagens: Vírus Humor Noticias Musica Bizarro Internet

quinta-feira, 26 de julho de 2007

JANGAN tanggung-tanggung mewujudkan demokratisasi, begitulah semangat yang menggelora saat ini di sanibari bangsa ini. Prosesnya boleh saja bertahap, tetapi pada akhirnya, demokratisasi harus teraktualisasikan pada semua aspek kehidupan. Begitu pada akhirnya, tak bisa dihentikan dengan kekuatan apa pun. Kita yang sekarang ini mengaku sedang melakoni pembangunan demokrasi jangan sampai melangkah setengah hati. Kita harus konsisten dengan proses demokratisasi, yang hakikatnya memang menjadi tuntutan segenap warga bangsa. Itu sebabnya, kita mengumandangkan era sekarang sebagai era reformasi.
Tahapan atas proses demokratisasi memang diperlukan. Selain tahap persiapan dan pembelajaran, penting untuk mereduksi dampak negatifnya. Apa saja dampak negatif dari proses demokratisasi rasanya sudah dipahami dan dirasakan. Masih segar dalam ingatan kekhawatiran tentang "reformasi yang kebablasan". Akan tetapi, satu-dua aspek kebablasan yang masih berlangsung sekarang ini memang harus kita hadapi. Itulah harga yang harus kita bayar dalam proses transisi, dari era represif menuju era demokratisasi.
Berbeda dengan China yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dalam proses modernisasi, daripada demokratisasi, kita memilih penataan infrastruktur politik guna mewujudkan demokratisasi sebagai agenda utama kita. Kita juga telah menetapkan pemulihan ekonomi sebagai prioritas. Sayang, dalam praktiknya, kita menomorduakan pemulihan ekonomi. Ini tercermin dari konsentrasi para elite yang begitu besar mengalokasikan energi dan waktu mereka untuk menata infrastruktur politik. Isu ekonomi-yang sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari keputusan atau kebijakan politik di parlemen. Pemulihan dari krisis ekonomi terkesan dibebankan hanya kepada atau menjadi urusan tim ekonomi pemerintah.
Proses penataan infrastruktur politik memang berlangsung sangat cepat, karena kita bisa melaksanakan pemilihan anggota parlemen dan presiden secara langsung. Begitu juga pemilihan kepala daerah. Otonomi daerah, walau ada plus-minusnya, telah berjalan. Semua ini tentu berkat keputusan politik yang progresif. Kendati dirasakan begitu cepat, proses ini sudah ditempatkan sebagai pilihan warga bangsa. Tak ada kata untuk mundur dari proses itu.
Rupanya, keputusan politik yang tertuang dalam paket undang-undang politik sejauh ini belum mengakomodasi calon independen dalam pemilihan presiden atau kepala daerah. Fenomena calon independen pertama muncul di pemilihan kepala daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Persoalan calon independen mulai jadi masalah di Pilkada DKI, karena hanya dua pasangan yang sah jadi calon melalui parpol . Lalu muncul gugatan di Mahkamah konstitusi (MK). Dalam ketetapannya pekan ini, MK meloloskan permohonan mengenai pengajuan calon kepala daerah independen atau yang tidak melalui partai politik (parpol). Dalam putusan pengujian Undang-Undang (UU) No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) itu, MK menyatakan sebagian pasal dalam UU Pemda yang hanya memberi kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol dan menutup hak konstitusional calon perorangan (independen) dalam pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Tidak usah heran jika parpol merasa terganggu dengan ketetapan MK itu. Parpol merasa ketetapan itu melegitimasi eksistensi mereka. Tentu parpol punya alasan untuk menyatakan keberatan atas putusan MK itu. Sebaliknya, MK juga punya alasan hukum yang masuk akal. Di sini, kita melihat adanya benturan antara keputusan atau kebijakan politik yang yang sudah dituangkan dalam UU versus keputusan hukum yang berasaskan keadilan dan kesamaan hak.
Keduanya sama pentingnya. Tentu harus dicarikan jalan keluarnya. DPR sebagai pembuat UU perlu melakukan pendekatan kepada MK, menjelaskan, mendiskusikan dan mencari cara bagaimana semestinya memperlakukan calon independen di kemudian hari. Dalam revisi UU politik di kemudian hari misalnya, DPR sudah bisa mengakomodasi calon independen dalam pemilihan presiden, kepala daerah hingga anggota parlemen. Yang pasti waktunya tidak sekarang, karena calon independen masih memerlukan sejumlah persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Maka beralasan jika ketetapan MK tentang calon independen harus segera ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan, semisal membuat payung hukum sementara dengan perppu. Selagi putusan MK tidak ditindaklanjuti pemerintah dan DPR, maka peluang calon independen terlibat dalam pilkada masih saja terganjal. Diperlukan sikap bijak semua pihak untuk menerima dan memahami putusan MK, untuk pembangunan demokratisasi bangsa ini. Hanya jangan bidang politik saja yang direformasi, bidang ekonomi juga jangan terlupakan...(***)

Nenhum comentário:

 
Creative Commons License
Donestock by pedro is licensed under a Creative Commons Attribution 2.5 Brazil License.